Coklat dan Cinta
@MuznaNAS
“Masay ... beliin coklat ini ya”. Rayuku sama Paksu suatu hari di tempat perbelanjaan.
“ Ya nanti ... “. Jawab Paksu, oalah ... minta coklat aja kudu sesok meneh, huhu ...huhu.
‘Cup-cup, nda usah mengharap model-model remaja itulah ya’. Tiba-tiba bisikan ini mengingatkanku.
‘Emang nda boleh minta sama suami sendiri? Pasangan halal lho ya, seumur-umur, hampir sepertiga abad bepasangan, baru ini lo ya aku minta hadiyah coklat’.
‘Hahha-haaa, kacian deh kamu, masa belum pernah dikasih hadiyah?’
‘Iya udahlah ya kalau hadiyah, tapi kalau hadiyah coklat belum pernah rasanya, bener, paksu itu bahasa cintanya bukan hadiyah, aku juga bahasa cintanya bukan hadiyah’.
‘Memang bahasa cintamu apa? Kok tiba –tiba minta hadiyah?’.
‘Sebenarnya bahasa cintaku itu kata-kata, nah harapanku pada hadiyah coklat nanti ada kata-kata buatku’. Jawabku pada diriku sendiri yang sedang berdialog.
‘Kalau paksu sendiri apa bahasa cintanya?’. Tanya nya lagi menelisik kefahamanku terhadap pasangan hidupku.
‘Setahuku paksu itu bahasa cintanya adalah benda’.
‘Apa kamu juga suka memberi apa yang paksu butuhkan dan suka?’.
‘Huhuhu ... huhu ...’ aku jadi terharu, yang harusnya ngasih siapa ya sih ? Aku hanya ingin romantisan gitu.
‘Haahahah ....’. aku ditertawakan diriku sendiri. Maunya diasih hadiyah, padahal dirinya pun tak pernah memberi hadiyah. Hihihi ... jadi malu.
“Masay ... jangan lupa ya beliin coklat”. Kembali aku merengek kaya anak kecil aja. Hahaha.
“Ya ... “. Kali ini Paksu menjawab mantap.
‘Aaassssiiikkkk, aku mau dibelikan coklat’. Kataku girang.
‘Seberapa penting itu coklat buatmu?’ pertanyaan serius ini.
‘Ya penting, pokoknya penting’. Ngeyelku muncul.
‘Jangan menyusahkan dan maksa begitu ya, siapa tahu lagi dananya terbatas’
‘Harga coklat itu tidak seberapa, juga buakn soal bendanya bernama coklat kok.
‘Lantas buat apa?’.
‘Buat seru-seruan aja, kan suasananya jadi hidup, Paksu semangat dan bahagia sekali nampaknya.
“Nasay ... sudah aku belikan coklatnya”, suara Paksu sesampainya di dalam rumah malam itu sayup-sayup kudengar, sebab mataku sudah 5 watt.
“Tuh ... coklatnya sudah ada”. Bisik Paksu di telingaku dan mendarat ciuman di pipiku.
Sayang kesadaranku sudah hilang kemana, aku hanya sempat mengingat senyum ku sebelum pergi terlelap tidur.
‘Gimana ini .... sudah diusahakan, sudah dibela-belain, eh malah malah ditinggal tidur’.
‘Maafkan ... qodratnya ngantuk tak dapat dibendung’.
The End.
"Selamat hari Buku". by.MuznaNAs Buku adalah harta terbanyak kami. Berkeluarga modalnya buku. Nikah maharnya buku Kitab Al Islam dan Tafsir berbahasa arab gundul. Berdus-dus pindah kontrakan bawa buku Lain cerita di luar sana pindahan yang diangkut mebel kursi lemari dan kasur. Tapi silahkan tanya, teman-teman aktivis dakwah. Saya yakin yang banyak adalah buku. Ruang tamu tanpa kursi tamu, yang ada karpet dan rak buku Ruang makan tanpa meja makan, yang ada rak-rak buku. Ruang tidur tanpan dipan, yang ada karpet kasur dan rak buku. Siapa yang seperti itu? Jadi ingat para guru, ustadz dan ustadzah di awal mereka menikah, pemandangan itu masih jelas dalam ingatan. Saat rumah kontrakan saya diberi kursi tamu dari bambu oleh pemilik rumah. Seorang ustadz berkunjung ke rumah kami begitu surprise. "Baru saya lihat di rumah dai ada kursi di ruang tamu, ya ... disini!." Teriak beliau saat itu. Itupun dipinjami, tertawalah kami semu
Comments
Post a Comment