Istri Tipe Khadijah
Muzna Nurhayati

Pengorbanan Siti Khadijah Semasa Hidup Menemani Rasulullah

“Saya dan suami membangun rumah tangga sudah belasan tahun, namun kami belum juga dikaruniai momongan. Akhirnya kami mengangkat anak sebagai upaya memudahkan Allah memberi amanah kepada kami”.
Begitu cerita ibu Nana (bukan nama sebenarnya) saat bertemu saya dalam satu kesempatan. Ibu Nana ini sangat jarang bertemu saya, namun kini setiap orang yang bertemu dengannya. Dia selalu curhat (mencurahan isi hati) kepada siapa saja. Karena begitu beratnya beban hidup yang dia alamikah? Tidak tahu pasti. Masalah beban hidup itu tergantung diri kita dalam  menanggapinya. Jika masalah kecil kita anggap besar juga akan berat. Dan masalah yang besar bisa menjadi ringan jika kita anggap ringan. Saya berpendapat begitu bukan tanpa alasan, biasanya orang yang bertipe perfeksionis memang segala sesuatu bisa menjadi berat, lain halnya dengan yang tipe sebaliknya, mereka santai menghadapi segala persoalan, hatta  (sampai) hal sulit sekalipun. Begitu kata teorinya. Dan saya mencoba memahami masalah saudara saya yang satu ini.
“Tapi yang saya tidak habis pikir mba, suami saya tega berselingkuh dengan orang yang kami percayai selama ini, bahkan mereka menikah tanpa meminta ijin saya. Padahal apa coba kurangnya kami kepada “dia”, selama ini kami sangat dekat, rumah kami seperti rumahnya sendiri, akhwat ini juga kami anggap saudara dan kami sering bersama-sama bepergian kemanapun. Tapi apa yang “dia” balas kepada kami, malah merebut suami saya”.
Astaghfirullah, saya mengucap istighfar dalam hati saja. Sesungguhnya saya terkejut dan kaget mendengar penuturannya. Demikian keadaan Nana sekarang. Saya ingin mengajukan pertanyaan, namun rasanya kurang etis, dia sedang mengungkapkan isi hatinya. Sayapun membiarkan dia melanjutkan ceritanya. Belum tepat jika saya memotong pembicaraannya. Saya biarkan cerita itu menjadi utuh terlebih dahulu. Meski dalam pikiran saya berkecamuk pertanyaan. Apa Nana lupa pesan Rasulullah, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?" Beliau menjawab, "Hamwu (ipar) adalah maut." [HR. Bukhari dan Muslim]. Ipar saja  disebutkan sebagai kematian, karena ada bahaya mengintai kita jika kita memasukkan lawan jenis dalam rumah kita yang bukan mahram bagi suami kita atau sebaliknya. Lha ini malah orang luar yang “dianggap” saudara. Walau mungkin pertemanan atau sahabat sekalipun, tetap saja itu bukan mahram. Selain itu apa perasaan wanita Nana kurang peka? Setidaknya gelagat suami menyukai teman dekatnya, apa tidak bisa diketahui sebelumnya? Agar bisa di waspadai. Wallahualam, saya tidak berani menyampaikan hal ini.
“Lebih sakit lagi mba, semua yang kami usahakan dalam masalah harta dan kemampanan ekonomi, memang buah usaha kami berdua, namun seratus persen semua modal yang kami keluarkan adalah apa yang saya miliki mba,”.  Nanapun mulai menangis. Apa ya maksudnya? Saya menebak-nebak.
“Agar kami bisa punya rumah sendiri yang kami fungsikan untuk kantor kami, suami bisa menjadi manejer di tempat usaha kami sendiri adalah hasil saya menjual ternak yang saya miliki, emas-emas yang saya punya, sertifikat yang saya sekolahkan (istilah untuk Sertifikat tanah yang diagunkan di bank). Lalu semua mereka tempati  berdua. Saya menyaksikan semua diambil begitu saja. Apa yang saya dapatkan? Sakit dan kecewa, kesal dan marah.”
Ya Allah... sebuah perasaan wanita yang disakiti pasangan. Seorang istri yang dalam katagori memiliki kemampuan finansial. Bahasa orang desanya Nana adalah orang kaya di desa tersebut. Rela menikah dengan pasangan yang sederhana dan belum berpenghasilan mapan, namun Nana yakin Rikzi mereka ada di Tangan Allah. Nana yakin mereka akan dimampukan Allah. Nanapun siap berkorban dengan apa yang dimilikinya. Sebagai buah tarbiyah Nana selama ini, menapaktilasi kisah istri tercinta Rasulullah swt, Siti Khadijah.
Nana awalnya yakin dia bisa sepeti Khadijah. Akan tanpa pamrih berjuang dan mengorbankan semua yang dimiliki untuk da’wah. Tapi tidak pernah terbayangkan jika kini mahligai rumah tangganya harus kandas dengan ulah suami yang tidak nyunah sama sekali. Rasulullah selama berumah tangga dengan Khadijah tidak menyakiti Khadijah, apalagi menduakannya. Karena Rasulullah begitu cintanya kepada Khadijah, dan Khadijahpun layak dicinta dengan keikhlasan dan pengorbannanya. Beriman untuk yang pertamakali, dan mengayomi dalam kondisi terpuruk dan kalut. Dialah Khadijah yang dalam sebuah hadist disampaikan “Sebaik-baik wanita pada jamannya adalah Maryam putri Imran dan sebaik-baik wanita dari umatnya adalah Khadijah.” (HR. Bukhari Muslim). Sedangkan dirinya. Nana menghapus air matanya.
“Saya .... sudah berusaha menjadi istri sholihah, saya juga sudah berusaha menjadi istri tipe Khadijah, yang siap berkorban untuk da’wah. Tapi memang saya akui Allah belum berkehendak saya menerima amanah anak. Apa karena ini masalahnya ya mba? Selain itu kini dengan ketidak relaan saya disakiti begini, bagaimana saya akan mendapatkan pahala surga, mba”. Nana menangis lagi.
Pikiran saya menerawang kemana-mana. Bagaimana ini? jika seorang wanita mengakui ada kekurangannya, mestinya introfeksi diri itu yang akan mampu menjadikannya rela suami menikah lagi. Tapi ini tidak juga. Hukum sebab akibatnya tidak berjalan. Tadi Nana bilang kemampuan mereka semua dari harta yang dia miliki sebelumnya. Nana merasa dia lebih berjasa, dan bisa mandiri lantas siap bercerai saja dan meminta kembali semua yang sudah dia berikan. Tobat .... begitukah sebuah keikhlasan? Menutut kembali?. Mungkin tidak semua wanita bisa berpikiran seperti saya. Atau sebaliknya seperti Nana. Tapi saya juga pernah menemui teman yang siap mencarikan suaminya istri agar suaminya bisa punya keturunan. Tapi suaminya yang tidak tega menyakiti hati istrinya. Dan sampai sekarang tidak berani mengambil keputusan itu meski sudah hampir dua puluh tahun lamanya mereka menjalani hidup berdua.  
Pikiran saya tambah menerawang lagi. Tentang seorang pria. Yang terangkat derajatnya karena ilmu dan menikah dengan seorang wanita sholihah dan kaya raya di desa tersebut. Tiba-tiba menikah lagi dengan teman istri yang selama ini dipercaya sebagai saudara dalam keluarga mereka. Karena saya juga wanita, dan saya bisa berempati dengan kasusnya Nana. Saya katakan pria seperti ini dalam padangan saya adalah pria yang tidak kuat maknawiyahnya. Mungkin ilmunya agamanya ada, tapi internalisasinya masih kurang. Pria yang seperti ini dapat juga dianggap sebagai pria yang tidak bersyukur, atau pria yang tidak bisa berterimakasih kepada mertua dan istri, serta yang lebih buruk lagi bisa jadi dia adalah pria yang tidak tahu diri. Sesekali para pria mungkin perlu tahu jeritan hati wanita dalam persoalan ini. Terutama yang tipe khadijah.
Apa bahasa yang tepat untuk suami yang seperti ini, sudah terangkat tapi tidak menghargai istri dan menempatkan diri dengan baik. Andai tidak mampu membahagiakan dengan materi, saya yakin wanita manapun jika tetap diperlakukan dengan ahsan akan memberikan pengaruh yang lebih baik. Dari ada kasus yang terjadi ini, istri menjadi tidak ridho. Istri meminta kembali semua harta, bahkan ada kasus lain sampai menjadikan harta yang dimiliki istri dan dignakan suami menjadi terhutang. Jika tidak bisa ditagih di dunia, biar nanti di akhirat. Begitu katanya. Saking  marah, emosi dan kesalnya seorang wanita diperlakukan tidak adil.
Wah... saya bisa jadi ikut emosi nih. Namun sebuah kewajaran atau tepatnya meminta dimaklumi,  bukan berarti minta pembenaran. Sebab asholahnya sudah jelas. Nilai kebenaran itu tetap dan bisa ditiru  jika ada kemauan.Jadi tinggal bagaimana kita sekarang mengelolanya. Jaman sekarang saya yakin masih banyak khadijah-khadijah yang siap berjuang mendampingi para suami menapaki jalan da’wah ini. Sebuah itikad baik istri bershodaqoh di jalan da’wah. Sekalipun penghasilan suami pas-pasan, istri tipe khadijah ini akan tetap memback up habis-habisan. Sampai habispun mereka tetap akan istiqomah di jalan da’wah. Dan selalu bangkit bersama dalam suka dan duka. Hingga suami layak dibanggakan. Adalah buah perjuangan bersama. Bukan mengedepankan ego masing masing.
Tentu inilah pasangan harapan kita semua. Namun kasus Nana berakhir di persidangan peradilan agama. Saya mendengar kabar ini tentunya merasa sedih, ya Allah... betapa surga itu tidak dirindukan dalam hal ini, perasaan menjadi sangat dominan, emosi begitu dikedepankan. Jadi ingat film “Surga yang tak dirindukan”. Saya bisa memaknai, setiap peristiwa itu bisa jadi adalah jalan kita menuju surga-Nya. Tinggal kita akan mengambilnya atau membiarkan peluang surga itu hilang. Kalau mengedepankan emosi itu namanya memperturutkan  si S. Dimana tempat tinggal mereka yang memperturutkan hawa nafsu? Semua sudah jelas. Saya jadi merinding. Begitu sulit ternyata kata maaf keluar dari seorang istri atau suami yang sudah berseteru menarik kembali akad suci diantara mereka, saat mereka bertemu karena cinta dan cita-cita fisabilillah sekalipun.  Jika sudah mengedepankan nafsu dan kepentingan dunia semata.
Ini pandangan bisa jadi dari istri tipe khadijah. Mungkin akan lain cerita jika istri bukan tipe khadijah. Semua harta didapatkan dari suami. Bagaimana nasib istri yang seperti ini? bisa jadi suami lebih merasa punya alibi untuk memiliki istri lebih dari satu. Dan syah katanya. Meski istrinya tidak beralassan untuk dimadu. Karena semua bisa dipenuhi, pelayanan,  keturunan, kesholehah dan ketaatan dan sebagainya yang baik ada pada istri. Tapi toh seorang suami bisa menikah tanpa ijin istri. Disinilah letaknya keadilan. Setiap tindakan akan ada pertanggungjawabannya. Silahkan menikah lagi, jika melakukannya dengan tidak ahsan, tentunya dosa itu harus juga siap ditanggungnya.Siap juga meminta maaf jika berkeinginan Allah ridho kepadanya kembali. Seorang istri jika tidak ridho juga sama halnya tinggal memilih ingin mendapatan surga atau sebaliknya. Sebenarnya sama  adilnya. Hanya kadang kita tergesa memihak.
Jika suatu urusan sudah sampai persidangan. Berapa saja dana yang harus dikeluarkan untuk persoalan ini. Apa tidak lebih baik dana yag dimiliki itu kita gunakan dijalan Allah yang lebih manfaat. Bukankah Allah berfirman, bercerai itu halal namun dibenci Nya. Masya Allah... menundukkan diri kita dihadapan Allah memang bukan hal yang mudah. Dilemanya jadi begitu rumit. Masalahnya jadi begitu banyak.
Melihat fitnah harta, tahta dan pria dalam kasus ini, tidak hanya menjangkit suami yang berharta. Namun juga istri yang berharta, namun tidak mampu mencontoh kebaikan khadijah dan semua peluang surga didalamnya. Ujian setiap orang berbeda. Dan setiap manusia yang diuji dinyatakan lulus atau tidak adalah sebuah keniscayaan yang harus didapatkan dan harus diraih. Agar ampunan, ridho dan rahmat Allah didapatkan.
Maka apalah artinya diriku dihadapan teman ini. menasehati, dianggap sok tahu. Tidak menasehati dianggap teman yang buruk. Jadi pendengar yang baik sudah cukup. Sebab semua keputusan sudah dia lalui. Saya tidak tahu siapa yang diikuti dalam hal ini, siapa yang dia turuti kata-katanya dalam memandu keputusan ini. Bisa jadi hanya mau dari nafsunya sendiri. Sebab semua orang lebih banyak menyarankan, raihlah surga  yang ada didepanmu. Saya yakin itu. Kalau pilihan kita yakin bercerai bisa membawa ke surga Allah  maka silahkan lakukan. Namun jika sebaliknya ya... jangan lakukan.
Wallahu alam...

Comments

Popular posts from this blog